Senin, 22 Maret 2010

Komponen Sistem Pers Indonesia

Apakah yang paling dominan memengaruhi sistem pers? Banyak yang berpendapat bahwa kehidupan pers dalam suatu negara bergantung pada sistem politik atau ideologi yang dianut oleh negara tersebut karena sistem pers merupakan bagian dari sistem negara.

Memang jika kita melihat kembali lembaran-lembaran sejarah pers, peristiwa yang dialami dan menimpa kehidupan pers (khususnya pers dalam negeri) selalu berkaitan dan bergantung pada pengawasan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Pada orde baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya, kehidupan pers dibatasi secara ketat, bahkan cenderung dikekang. Hal itu dapat dilihat dari pembreidelan beberapa surat kabar pada 1974 setelah peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).

Contoh yang terkenal ialah Harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai punggawanya. Hal itu dilakukan untuk menjaga pers yang pada saat itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini publik dan mencegah terjadinya ketidakstabilan politik akibat pemberitaan agar pembangunan, yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu melalui Pembangungan Jangka Panjang (PJP) dan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang terkenal dengan ideologi developmentalisme-nya, dapat berjalan lancar.

Tapi apakah benar sistem politik atau ideologi suatu negara merupakan faktor dominan dalam menentukan kehidupan pers?
Sebelum menjawabnya sebaiknya kita mengetahui dahulu tentang sistem pers dan posisinya dalam sistem sosiokultural.

Untuk mengetahui posisi pers dalam sistem sosiolkultural maka kita juga perlu mengetahui dulu tentang sistem sosiokultural. Sistem sosiokultural bisa juga disebut sebagai sistem masyarakat. Tapi rasanya kurang afdhal jika kita tidak mencari definisi ilmiahnya.

Mengenai definisi ilmiah dari sosiokultural, kebetulan ada definisi dari buku lama terbitan 1993 (cetakan pertama) “Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial” karya Stephen K. Sanderson. Sistem sosiokultural adalah sekumpulan orang yang menggunakan berbagai cara untuk beradaptasi dengan lingkungan mereka, yang bertindak menurut bentuk-bentuk perilaku sosial yang sudah terpolakan, dan menciptakan kepercayaan dan nilai bersama yang dirancang untuk memberi makna bagi tindakan kolektif mereka.
Sistem sosiokultural merupakan unit analisis dasar dalam sosiologi makro. Maka untuk memahami suatu masyarakat maka perlu diuraikan sistem sosiokuktural hingga ke komponen-konponen yang membentuk sebagai titik awal penelitian yang sistematis.

Untuk memahami struktur atau komponen dalam masyarakat, Karl Heinrich Marx (1818-1883), seorang filsuf, ekonom, dan juga dapat digolongkan sebagai sosiolog, telah membuat pembedaan struktur dalam masyarakat, yaitu infrastruktur (basis) dan suprastruktur.

Infrastruktur material berisi bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan upaya manusia mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur masyarakat adalah komponen yang paling dasar, dalam pengertian, bahwa tanpa itu maka manusia atau masyarakat tidak akan mungkin bertahan secara fisik. Infrastruktur material termasuk di dalamnya adalah teknologi, lingkungan (ekologi), demografi dan ekonomi sebagai faktor yang dominan. Suprastruktur merupakan cerminan dari infrastruktur masyarakat yang dominan yaitu ekonomi dan teknologi.

Marx dengan gagasan materialisme historisnya menafsirkan sejarah dengan pendekatan materialis dan pendekatan ini digunakan oleh kajian-kajian ilmu sosial untuk mengkaji kehidupan sosial. Marx melihat faktor material seperti ekonomi sebagai sebab utama dalam kehidupan sosial. Kehidupan ekonomi atau sistem ekonomi (infrastruktur) sebagai penentu kehidupan politik (suprastruktur).

Hal ini berkaitan dengan konsep Marx tentang moda produksi atau ragam produksi. Ragam produksi dapat diartikan sebagai seperangkat cara masyarakat dalam memproduksi pemenuhan kebutuhannya.

Dalam konsep ragam produksi terkandung pengertian bahwa ragam produksi memiliki unsur-unsur :
Pertama, yang biasa disebut syarat-syarat produksi atau batas-batas kealaman (kondisi alam) yang memungkinkan atau tidak memungkinkan suatu masyarakat memproduksi sesuatu.
Kedua, kekuatan produksi. Kekuatan produksi terdiri dari segala daya yang berasal dari alam (cahaya matahari, angin, air, yanah, tubuh, tenaga manusia), dan dari segala yang diciptakan manusia (perkakas kerja).
Ketiga, hubungan produksi atau seperangkat hubungan sosial yang menghubungkan anggota masyarakat dengan syarat dan kekuatan produksi.
Ragam produksi merupakan suatu kesatuan utuh yang unsur-unsurnya saling berkaitan. Unsur pokok dalam hubungan produksi adalah pengaturan kepemilikan atas alam, perkakas, dan tenaga manusia. Secara umum, paling tidak terdapat empat bentuk ragam produksi pokok sepanjang sejarah manusia, yaitu primitif-komunal, perbudakan, feodal, kapitalis.

Dalam hal ini kehidupan ekonomi (infrastruktur) sangat berpengaruh terhadap kehidupan politik (suprastruktur). Kepemilikan sebagai unsur pokok dalam hubungan produksi merupakan pangkal dari stratifikasi sosial yang kemudian disebut kelas-kelas sosial.

Dalam sejarah manusia, paling tidak ada dua jenis pengaturan kepemilikan komunal atau kolektif dan kepemilikan pribadi. Dalam kepemilikan komunal, alam dan daya, perkakas kerja, dan tenaga manusia menjadi milik bersama. Semua yang bisa dihasilkan dari kegiatan produksi menjadi milik bersama.

Misalnya ada seorang lelaki dewasa anggota suku pemburu-peramu. Tenaga kerja yang dimilikinya sendiri, misalnya dalam bentuk kemampuan berburu yang handal, bukanlah miliknya sendiri sehingga ketika dengan kemampuannya itu ia memeroleh buruan yang besar, buruan itu pertama-tama menjadi milik bersama sukunya. Hasil kerjanya dibagi-bagikan kepada semua anggota suku. Penghitungan pembagiannya berdasarkan kebutuhan bukan berdasarkan perolehan. Bila si pemburu handal itu bujangan, maka bagiannya akan lebih sedikit daripada anggota suku lain yang sudah punya anak lima, meskipun sumbangan kerjanya lebih banyak.

Prinsipnya adalah “dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhannya”. Struktur masyarakat pemburu-peramu paling sederhana dibanding dengan semua masyarakat manusia. Pembagian kerja didasarkan pada umur dan jenis kelamin. Tanggung jawab terhadap menopang kebutuhan hidup (subsisten) jatuh kepada orang-orang berusia setengah baya, dan yang tua dan muda kurang dibebani untuk memenuhi kebutuhan subsisten itu. Berburu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan meramu.

Di atas merupakan contoh dari pengaruh pola ekonomi terhadap pola stratifikasi sosial. Setelah peradaban berburu dan meramu, perkembangan memasuki tahap-tahap hortikultura sederhana, kemudian hortikultura intensif, lalu masyarakat agraris. Pada masyarakat agraris, struktur masyarakat sudah sangat terstratifikasi yang terdiri dari kelas dominan yang diisi oleh minoritas yang berkuasa dan memiliki hak-hak istimewa yang hidup dalam kemewahan, kelas menengah terdiri dari pejabat-pejabat yang bekerja untuk kelas dominan dan memegang jabatan kurang penting dalam politik, dan kelas bawah yang terdiri dari mayoritas masyarakat biasa yang bertanggung jawab menggerakkan perekonomian untuk mensuplai kedua kelas di atasnya.

Lalu meloncat pada masyarakat feodal yang berlangsung selama ratusan tahun di Eropa pada abad pertengahan. Pada sistem ekonomi feodal kepemilikkan dominan berada pada kelas bangsawan yang memiliki daerah (tanah) untuk digarap oleh petani-petani kecil. Kelas berkuasa merupakan kelas yang memiliki akses langsung terhadap kekuatan produksi seperti, alam (dalam hal masyarakat feodal ialah tanah), teknologi (alat produksi), dan tenaga kerja.

Jadi, cara suatu masyarakat memproduksi kebutuhan dasarnya (kegiatan ekonomi) merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap kehidupan politik dimana kehidupan politik (suprastruktur) merupakan cerminan kehidupan infrastruktur (kehidupan ekonomi). Politik berbicara tentang kekuasaan yang sangat berkaitan erat dgn hubungan produksi (kepemilikkan).

Contohnya, pada konstitusi negara ini terdapat pasal yang mengatur tentang kekayaan alam (sumber daya alam) yang dimiliki negara. Jika konsep-konsep Marx diaplikasikan dalam contoh ini, maka negara merupakan kelas penguasa yang memiliki akses terhadap kekuatan produksi. Kepemilikan kekuatan produktif berada di tangan negara, maka negara sebagai pihak yang memiliki akses langsung terhadap kekuatan produktif berhak terhadap pengaturan hubungan sosial yang menghubungkan anggota masyarakat dengan syarat dan kekuatan produksi (hubungan produksi).

Pers yang berada di bawah sistem negara sangat bergantung pada sistem yang ditentukan oleh negara, yakni sistem politik. Sistem politik, yang tergolong dalam suprastruktur, merupakan cerminan dari kehidupan pada infrastruktur atau basis, yaitu kehidupan ekonomi. Jika dilihat dari faktor utama yang memiliki pengaruh kuat terhadap faktor lainnya seperti yang telah digambarkan sebelumnya maka faktor ekonomilah yang paling berpengaruh terhadap segala sendi kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara (sejak berdirinya negara modern) dan kehidupan pers di dalam suatu negara.

Memang tidak sesederhana itu untuk menjelaskan faktor ekonomi sebagai faktor yang paling berpengaruhi terhadap kehidupan manusia, termasuk kehidupan pers. Tapi setidaknya terdapat gambaran umum yang sederhana dan mudah untuk memahami realitas sosial yang sangat kompleks.

Empat Teori Pers dan Sistem Pers
Berbicara mengenai pers tidak dapat mengabaikan ruang lingkup tempat hidup pers itu sendiri. Pers hidup dalam sebuah sistem kenegaraan yang di dalamnya terdapat subsistem-subsistem lain, termasuk pers itu sendiri. Pers memiliki sebuah sistem sendiri yang berada di bawah negara atau di bawah sistem sosial masyarakat seperti pada Zaman Pertengahan dan Zaman Pencerahan (Rennaisance) di mana negara-negara modern belum bermunculan.

Karena posisi sistem pers yang berada di bawah sistem negara atau sosial masyarakat, maka karakteristik, sikap, dan persepsi masyarakat terhadap pers pun sesuai dengan kondisi sosial pada konteks waktu dan tempat di mana pers itu tumbuh dan berkembang.

Mengenai sistem pers ini, Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm telah membuat kategori teori-teori pers dalam bukunya The Four Theories of The Press, yang dapat diimplementasikan sebagai sistem pers pula. Dalam bukunya Fred S. Siebert dan kawan-kawan membahas mengenai empat teori pers yaitu Teori Otoritarian, Teori Libertarian, Teori Tanggung Jawab Sosial, dan Teori Sovyet Komunis. Tesis ini adalah bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana ia beroperasi.
Teori-teori pers ini diformulasikan dari pengembangan prinsip-prinsip filosofis (filsafat sosial) pada saat itu sehingga menghasilkan basis struktur sistem sosial politik di mana media itu beroperasi. Seperti Teori Otoritarian yang mengambil contoh kasus di Eropa Barat (Inggris, Prancis, Spanyol) pada masa transisi (Zaman Pencerahan) yang masih sangat kuat pengaruh Otoritarianisme Zaman Pertengahannya. Juga Teori Libertarian yang berawal dari filsafat libertarian yang berkembang setelah keruntuhan era otoritarianisme di Eropa Barat.

Jadi, filsafat sosial (begitu juga teori) lahir dari sejarah dan hanya dapat dipahami dengan melihat konteks sejarah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan timbulnya filsafat itu. Hal ini juga dinyatakan oleh Harold Laski, penulis buku “The Rise of European Liberalism”, yang dikutip oleh Siebert dalam bukunya.

Kritik Terhadap Empat teori Pers
Sebenarnya terdapat pertanyaan yang menukik tajam mengenai empat teori pers yang klasik itu, apakah masih relevan empat teori pers itu dengan keadaan kekinian? Hal itu yang menjadi banyak perbincangan, perdebatan, diskusi sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh tidak kontekstual dan relevannya empat teori pers itu dengan kondisi kekinian.
Beberapa kritik datang dari beberapa pihak, salah satunya dari Buku “Last Rights: Revisiting Four Theories of The Press”. Buku ini menyimpulkan bahwa melalui deskripsi empat teori pers ini pembaca dipaksa menyimpulkan bahwa hanya kepemilikkan pribadilah yang merupakan bentuk ideal, pers tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai “anjing penjaga”, pers tidak bisa lepas dari modal karena pers itu sendiri merupakan sebuah bentuk modal, dan mengutip Siebert: Bagaimana pers dapat sepenuhnya bebas dari dominasi bila dirinya sendiri merupakan bagian dari sistem bisnis dan ekonomi itu sendiri.

Beberapa kritik yang ditekankan dalam buku ini ialah mengenai aspek historis dan teoritis. Secara historis empat teori pers ini merupakan produk dari fakta yang menghubungkan antara kegiatan dengan kekuatan dalam sejarah barat, sejarah dari media barat dan sejarah dari pendidikan jurnalisme. Dilihat dari aspek teoritis, empat teori pers ini tidak memiliki tingkat kekongkritan sejarah yang sama, tidak semua teori dalam pengertian yang sama, penyajian atas perbandingan dan perbedaan dari keempat teori pers memberikan kesan bahwa sistem pers di sebuah negara bisa didefinisikan sebagai sebuah teori pers yang terkait, empat teori pers terlalu sedikit perhatian pada konsentrasi kekuatan di dalam sektor privat.
Masih terdapat kritik-kritik lainnya dalam buku ini, namun penulis menekankan pada pernyataan bahwa teori tersebut dibentuk bukan berdasarkan pemikiran melainkan sejarah. Selain itu yang penting pula untuk dicatat ialah tidak proporsionalnya pembahasan mengenai empat teori pers. Teori Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial terasa diterangkan lebih panjang lebar dan disertai aspek historis yang konkret. Sementara Teori Otoritarian dan Komunis Sovyet kurang dijelaskan.

Mengenai pembahasan yang kurang proporsional, dapat dilihat dari latar belakang para penulisnya terutama Wilbur Schramm. Karya kolektif Schramm bersama Siebert dan Peterson ini haruslah pula dilihat konteks sejarah pembuatannya. Karya ini diterbitkan pada 1952 di mana Perang Dingin masih berkecamuk antara Blok Barat (Amerika) dan Blok Timur (Sovyet). Kondisi yang melatari terbitnya Four Theories of The Press ini seakan menemukan peraduannya ketika ditemukan fakta yang mencengangkan tentang Schramm bahwa Schramm terlibat dalam berbagai proyek rahasia militer Amerika pada masa Perang Dingin. Hal ini menunjukkan bahwa Schramm memiliki keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer lainnya.

Pemikiran Schramm yang sarat kepentingan intelijen Amerika ini terkuak dalam sejumlah literatur mutakhir sehingga mereka yang hendak mengonsumsi teori Schramm perlu hati-hati serta kritis. Contoh literatur tersebut antara lain adalah karya Christopher Simpson “Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960” (1994). Simpson membongkar arsip-arsip intelijen Amerika dan menemukan peran besar Scramm dalam proyek-proyek rahasia intelijen.

Karya lainnya adalah yang dibuat oleh Everett M. Rogers (A History of Communication Study: A Biographical Approach, New York, Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut.

Dari sejumlah fakta yang ditemukan terdapat kecurigaan besar bahwa penulisan buku Four Theories of The Press ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan atau lawannya dalam kondisi Perang Dingin. Selain itu, Teori Pers Sovyet Komunis sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai sejarah saja ketimbang sebagai suatu ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.

Kritik lain datang dari Robert G. Picard yang mengkritik keabsahan model-model klasik tersebut dalam melihat fenomena hubungan pers dengan pemerintah pada masa dekade 1980-an. Picard menyatakan bahwa sebagai sebuah fakta, di akhir 1980-an dunia dicengangkan dengan runtuhnya ideologi komunis di Eropa Timur, sehingga praktis uraian Teori Pers Komunis yang dikemukakan oleh Schramm dalam karya kolektifnya bersama Siebert dan Peterson telah gugur dan tinggal sebagai catatan sejarah masa lalu saja.

Kritik utama Picard adalah ketidakmampuan Fred Siebert dan kawan-kawan untuk menjelaskan fenomena pers di negara berkembang dan tulisannya itu sendiri ditulis oleh para peneliti yang berasal dari Amerika dan terpengaruh oleh tradisi Anglo-Amerika dan juga memiliki bias dari pengaruh demokrasi liberal. William Hachten, yang dikutip Picard, membagi pers di dunia ke dalam tipologi: pers otoriter, pers komunis, pers “western”, pers revolusioner dan pers pembangunan. Istilah pers komunis dan pers otoriter dipinjam Hachten dari empat teori pers yang dikemukakan Siebert. Pers “western” merupakan penggabungan teori pers Libertarian dan Tanggung Jawab Sosial.
Menurut Hachten, walaupun keduanya merupakan dua konsep yang berbeda, namun keduanya muncul di Barat dan menampilkan pola pikir Barat. Pers revolusioner adalah pers dari kelompok orang yang yakin sekali bahwa pemerintahnya tidak memenuhi kepentingan mereka dan harus digulingkan, dan bagi kelompok ini tidak ada kesetiaan pada negara.

Kritik yang lain lagi datang dari Akhmad Zaini Abar dalam skripsinya untuk meraih gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada yang berjudul “1966-1974: Kisah Pers Indonesia” dan telah diterbitkan oleh Penerbit LKiS pada 1995. Ia menolak pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawan tentang empat teori pers. Penolakan itu berdasar pada argumen bahwa di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sering terjadi inkonsistensi, atau bahkan polarisasi, antara realitas legal-formal dengan realitas empiris-aktual. Dengan kata lain telah terjadi distorsi antara aspirasi dan kehendak konstitusional, peraturan-peraturan hukum positif serta ideologi resmi negara dengan kenyataan sosial dan praktek dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika saja mengikuti pendapat Fred S. Siebert dan kawan-kawannya tersebut, maka kajian yang akan kita lakukan hanya sekedar memberi gambaran realitas pers yang bersifat legal-formal daripada bersifat empiris-aktual. Artinya kajian menjadi bersifat a-historis dan normatif.
Kritik Zaini Abar ini cenderung serupa dengan Teori Pers Pembangunan atau Developmentalisme yang menekankan pada stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi agar pembangunan dapat berjalan lancar. Stabilitas nasional menjadi syarat utama dan pers merupakan institusi yang paling berpotensi untuk menciptakan suasana stabil atau sebaliknya dengan fungsinya sebagai pembentuk opini publik.

Sistem Pers di Indonesia
Lalu bagaimana dengan sistem pers yang ada di Indonesia? Apakah dapat dimasukkan ke dalam teori-teori yang dibuat Fred S. Siebert dan kawan-kawannya? Atau Indonesia memiliki sistem pers sendiri selain dari empat teori tersebut?

Melihat pemaparan sebelumnya di atas, maka dapat dipastikan bahwa empat teori pers hasil karya kolektif Fred S. Siebert dan kawan-kawan sudah tidak relevan lagi bagi kondisi kekinian karena teori-teori tersebut lebih cenderung sebagai pemaparan sejarah dibandingkan teori umum yang dapat diaplikasikan pada kehidupan pers kini. Selain itu juga melihat latar sejarah penerbitannya yang sarat kepentingan, maka empat “teori” pers tersebut harus dibuang jauh dari pelabelan teori dan harus dipelajari sebagai sejarah pers dunia.

Ignatius Haryanto dalam bukunya juga menyebutkan bahwa:
Untuk membandingkan salah satu dari beberapa model teori pers yang ada, dikaitkandengan kondisi di Indonesia, maka perlu kehati-hatian dalam melihat model mana yang sebenarnya berkembang di Indonesia, sambil melihat latar historis macam apa yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, untuk menyebut kondisi di Indonesia dengan tipologi di atas (empat teori pers – pen), kita harus melacak kondisi historis macam apa yang melatari munculnya model yang dipakai untuk menyebut kondisi Indonesia.

Jadi , untuk mengetahui sistem pers apa yang berlangsung pada suatu negara, termasuk Indonesia, harus dilakukan penelitian khusus dengan melihat latar historis suatu negara sehingga dapat diketahui karakteristik sistem negara dan sosial yang berlaku serta perkembangannya.

Mungkin terdapat kemiripan karakter dengan apa yang dikemukakan dalam Empat Teori Pers karya Siebert dan kawan-kawan, namun kemiripan itu tidak menghilangkan kekhasan karakter sistem pers suatu negara. Daripada memaksakan untuk menamai sistem pers suatu negara menggunakan konsep-konsep Empat Teori Pers, lebih baik melakukan penelitian dan menemukan konsep-konsep baru dengan kekhasan masing-masing negara sesuai dengan konteks tempat dan waktu

4 komentar: