Kamis, 07 Januari 2010

Proposal Penelitian "Komunikasi Politik M. Natsir"

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Suatu ummat dikatakan sebagai ummat yang terbaik apabila bisa memberikan suatu arahan-arahan pencerahan kepada suatu kebaikan dan keberhasilan. Kita sebagai umat muslim harus berbangga hati karena mempunyai kitab universal yang telah diakui kehebatannya diseluruh jagad raya ini yaitu Al-Qur’an, dan juga memiliki seorang penuntun yang sangat mulia sekali perangainya yang menjadi orang nomor satu dalam sejarah manusia, orang yang berpengaruh didunia yaitu Nabi Muhammad SAW.

Dengan modal Al-Qur’an Karim dan Hadist Nabi SAW, diharapkan ummat manusia tidak akan terbelenggu kepada kesesatan dan kegagalan. Maka dengan saling menyebarkan kebaikan dan kebenaran kepada semua manusia menjadikan suatu kewajiban penting bagi kita semua selaku muslim yang mempunyai keimanan dan keislaman yang kaffah. Media dakwah adalah sebagai alat bagi kita dalam menyampaikan kebenaran dan kebaikan tadi. Media dakwah itu bermacam –macam pula pendekatannya, dengan bisnis, perkawinan, taupun juga dengan politik.

Namun jarang sekali pelaku-pelaku dakwah kita sekarang ini, bisa multi keterampilan dan kemampuan dalam berdakwah, inilah yang sangat disayangkan sekali bagi kita semua. Sehingga dakwah itu sempit sekali pengertiannya. Padahal tidak seperti itu, dakwah itu luas sekali pengertian dan pendekatannya.

Islam adalaha agama dakwah, islam tidak memusuhi, tidak menindas unsur-unsur fitrah. Islam mengakui adanya hak dan wujud jasa, nafsu, akal dan rasa, dengan fungsinya masing-masing. Islam memanggil pancaindra, menggugah akal dan kalbu, menyambung jangkauan untuk hal-hal yang tidak tercapai oleh mereka sendiri, sehingga manusia tidak meraba kesana-kesini dan terus salah meraba mencari Tuhannya. Dakwah dalam arti amar ma’ruf dan nahyi munkar adalah syarat mutlak bagi keselamatan dan kesempurnaan hidup masyarakat. Ini merupakan kewajiban fitrah manusia sebagai mahluk social dan kewajiban yang telah ditegaskan oleh risalah kitabulllah dan sunnah rasul.

Tradisi menegakkan sunnah di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim menjadi permasalahan tersendiri yang faktanya banyak ditinggalkan oleh para da’i. Konsentrasi dalam upaya memilah dan menetapkan sunnah yang dipandang benar-benar berasal dari Nabi (sunnah shahihah), seringkali tak sejalan dengan kajian-kajian syari’ah lainnya. Permasalahan menghidupkan sunnah ini bahkan dipandang bagian dari kesalahan da’i dalam berinteraksi dengan masyarakat setempat. Dibalik itu semua, sesungguhnya karakter da’wah para Nabi dan Rasul sangat tidak mentolerir upaya-upaya pemalsuan sunnah yang mengatasnamakan tradisi Islam sehingga ibadah-ibadah yang diterapkannya bernuansa bid’ah. Pembacaan kami terhadap pemikiran Natsir tentang sunnah telah memberikan kesimpulan sementara bahwa Natsir amat menjunjung sunnah shahihah, menolak praktek bid’ah serta menda’wahkan apa yang diyakininya tersebut.

Jalan dakwah yang telah dicontohkan Rasulullah SAW selama ini adalah dakwah yang mengedepankan keteladanan dan nasihat yang baik. Dakwah yang dikedepankan dalam ajaran Islam adalah dakwah yang menyejukkan hati setiap orang. Poin penting yang juga dijalani Rasulullah dalam berdakwah adalah mengedepankan empati.
Konteks penyampaian ayat-ayat Allah SWT berangkat dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Rasul juga selalu mampu merasakan persoalan yang dihadapi umatnya. Perasaan empati ini akan membuat dakwah menjadi lebih mengena. Rasa empati juga akan membuat juru dakwah bisa memahami situasi yang sedang dihadapi objek dakwahnya.

Pemahaman seperti ini sangatlah penting, supaya materi dakwah yang disampaikan bisa benar-benar menjawab persoalan yang tengah dihadapi publik. Kesalahan dalam memahami situasi dan perasaan audiens bisa membuat dakwah seseorang mengundang resistensi.
Natsir adalah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi, dan juga sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting yaitu sebagai menteri penerangan dalam cabinet Sjahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan soekarno. Sebagai politisi, M. Natsir telah menduduki jabatan puncak partai terbesar yaitu Masyumi, dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Adapun sebagai dai ternama, M. Natsir pernah menduduki sebagai wakil presiden Muktamar alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak rabithoh alam Islami, serta menjadi ketua dewan dakwah Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993.

Sewaktu menjadi ketua masyumi, M.Natsir sangat terkenal dengan kegigihannya memperjuangkan aspirasi Islam melalaui konstituante. Tetapi, aspirasinya yang dikenal sebagai dewan Islam melalui kekuatan politik tersebut gagal, bahkan partai masyumi yang dipimpinnya dibubarkan oleh kekuasaan soekarno pada bulan desember 1960.

Dengan dibubarkannya masyumi dalam panggung politik di Indonesia maka habislah kekuatan dakwah Islam secara politis, kecuali NU, PSII, Perti pasca-Masyumi. Sebagai akibat pembubaran partai Islam tersebut, tokoh-tokohnya berpencar mencari posisi pada ormas –ormas Islam. Ada yang bergabung dengan Muhammadiyah seperti Mr. Moh. Kasman Singodimedjo, dan ada juga yang bergabung Nahdatul Ulama seperti KH. Idham Kholid dan KH. Masykur. Mereka kemudian menjadi pimpinan puncak pada Muhammadiyah dan NU untuk periode berikutnya. Lain halnya dengan M.Natsir tidak memilih Muhammadiyah, NU atau Persis sebagai tempat pengabdinya. Beliau malah mendirikan organisasi dakwah yang kini dikenal dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Tampaknya kepiemimpinan M.Natsir dala DDII ini membawa angin segar bagi dakwah Islam di Indonesia, konsep amar ma’ruf dan nahyi munkar tampaknya dapat dengan mulus menerobos kehidupan ummat. Ajakan dakwah Islam tersebut juga tampak merata pada semua lapisan, mulai dari rakyat biasa dari pedesaan, masyarakat perkotaan, kaum elite, birokrat, hingga pada tokoh-tokoh dan pemuka agama serta umat non-Islam. Terhadap pemerintahan baik soekarno ataupun soeharto, M. Natsir terkesan sangat konsisten melakukan upaya dakwah Islam. Demikian juga terhadap tokoh-tokoh non muslim, diantaranya pendeta Monohutu, pendeta Chris Toffes, Paus Yohanes Paulus II, mereka tidak luput dari sasaran dakwah Islam M. Natsir.

Khusus dalam bidang dakwah Islam, M.Natsir adalah seorang tangguh yang mencoba menerobos dakwah Islam melalui tembok-tembok birokrasi dan juga melalui wilayah-wilayah yang terpencil dengan mengirimkan tenaga dai ketempat-tempat tersebut. Proses reIslamisasi dan Islamisasi pada daerah-daerah tersebut sulit dibantah kenyataannya. Bahkan, pelosok-pelosok yang didatangi dari DDII merasa tersirami rahmat Islam dan akhirnya mendirikan berbagai sarana pendidikan dan dakwah Islamiyah.

Melihat kenyataan-kenyataan tersebut penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan konsep dakwah islam yang dilakukan M. Natsir. Sudah tentu konsep-konsep dakwahnya tidak sesederhana dengan sebagian orang, karena ia diakui sebagai orang yang tekun, terutama dalam lapangan dakwah. Penulis melihat konsep-konsep dan isi-isi dakwah yang dikembangkannya sangat menyatu dan kompak, tergalang secara padu melalui pemikiran dakwah Islam secara lisan, tertulis ataupun perbuatannya. Konsep-konsep tersebut dikembangkan melalui organisasi yang didirikannya yaitu dewan dakwah Islamiyah (DDII). Hal inilah yang menyebabkan M. Natsir sukses dalam panggung dakwah Islam. Oleh karena itu, tidak salah M. Natsir yang pernah gagal menggunakan organisasi politik dalam memperjuangkann Islam itu, kemudian menggunakan organisasi dakwah untuk memperjuangkan Islam. Tampaknya organisasi bagi M. Natsir merupakan alat yang strategis untuk mengajak umat berbuat kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk.

Bagi M. Natsir, risalah Islam melalui dakwah Islam menyatu dalam tiga bagian pokok. Pertama, menyempurnakan hubungan manusia dengan khaliqnya. Kedua menyempurnakan hubungan manusia dengan sesama manusia. Ketiga mengadakan keseimbangan antara kedua itu dan mengaktifkan kedua-duanya seiring dan sejalan.

M. Natsir tampaknya menggunakan ketiga poin tersebut dalam pemikiran dakwah, sekaligus menggerakannya melalui organisasi dakwah sebagai alatnya. Karena, bisa dipahami, mengapa dalam perjalanan hidupnya sangat korektif terhadap hal-hal yang menurut pandangannya merusak keseimbangan hidup sebagaimana disebutkan diatas. Beliau sangat tanggap dan peka terhadap setiap gejolak zaman yang cenderung melemahkan ajaran agama, kemudian mengantisipasinya dalam bentuk gerakan dakwah secara lisan, tulisan maupun perbuatan nyata.

M. Natsir adalah pemimpin umat sekaligus warga Negara, yang dalam pengabdiannya terhadap bangsa, Negara dan agama selalu memberikan andil nyata melalui gerakan dakwah Islam. Peran dan tugas ini dilakukan atas panggilan nuraninya untuk memberikan sesuatu yang terbaik demi kepentingan bersama.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam pemikiran M. Natsir, dakwah islam adalah ajakan yang berisi amar ma’ruf dan nahyi munkar. Menurutnya ajakan tersebut tidak cukup denga lisan saja, melainkan juga dengan bahasa, perbuatan dan kepribadian mulia secara nyata. Penulis mengamati bahwa ini merupakan pemikiran ideal yang dikomunikasikan secara konsepsioanal tidak jauh berbeda dengan pengertian dakwah islam yang telah difahami oleh masyarakat secara umum. Hingga saat ini maupun mendatang, masyarakat tetap memahami bahwa yang namanya dakwah islam itu adalah ajakan amar ma’ruf dan nahyi munkar yang diwujudkan dengan lisan, perbuatan dan akhlakul karimah secara nyata.
Tidak hanya sebatas terminologi akan tetapi secara substansial, dakwah islam terletak pada pemahaman arti dakwah islam secara lafdziyah atau harfiah. Artinya dakwah islam tidak hanya sekedar menyampaikan ajaran islam, tetapi lebih diartikan sebagai mengundang objek dakwah untuk menerima informasi keislaman. Dengan demikian para dai selaku pengundang harus menempatkan objek dakwah sebagai tamu yang mesti di hormati. Konsekuensinya adalah para dai diminta menyuguhkan bahasa, sikap yang baik, dengan penuh kesopanan kepada para tamunya, atau dengan pengertian lain bahwa tamu yang diundang atau yang diajak itu harus dihormati. Karenanya, segala sikap, ucapan, maupun perbuatan para dai yang dinilai merusak harga diri dan merendahkan martabat para tamu sebagai objek dakwah, seharusnya dihindari. Dengan demikian, maka dakwah itu sebenarnya menjadi satu penghargaan atas penghormatan para tamu yang diundang. Pemahaman seperti inilah yang perlu disebarluaskan dalam rangka mengikis penyampaian dakwah yang sering mendiskreditkan, mengkafir-kafirkan objek dakwah. Disini perkataan yang baik dan perbuatan yang mulia dari para dai terhadap objek dakwah itu menjadi penting artinya dalam mencapai tujuan dakwah.

M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan isi-isi dakwah dan sasarannya. Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, beliau terkesan mempunyai memiliki kemampuan intelektual secara utuh pesan dakwah yang disampaikan, baik dari segi dimensi spiritual maupun social. Dalam dimensi spiritual, beliau banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan berbagai tulisannya dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan dalam dimensi social, beliau tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan social, termasuk politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Pada sisi lain, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa islam itu meliputi ajaran spiritual dan social. Disamping mengamalkan ajaran agama, umat islam juga harus mengerti politik, mapan dalam ekonomi, berpendidikan dan memiliki kepekaan social terhadap setiap masalah yang terjadi dilingkungannya. Ini semua merupakan hal yang sangat baik bagi kehidupan manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya.

Menurut penulis dari semua dimensi yang kita milki itu mampu mengintegrasikan demi satu tujuan yaitu beribadah kepada Allah SWT, yang direalisasikan dengan bentuk dakwah. Segala sesuatu yang di kedepankan adalah semata-mata hanya untuk berdakwah dan mencari keridoan Allah SWT.

C. BATASAN MASALAH
Adapun penelitian ini perlu adanya suatu batasan masalah, dikarenakan supaya tidak melenceng terhadap permasalahan lain diluar kepentingan penelitian ini. Pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya menyangkut tentang :
1. konsep dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir
2. isi dan sasaran dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir

D. RUMUSAN MASALAH
Pertanyaan umum dari masalah diatas adalah bagaimana pola komunikasi dakwah yang ditawarkan oleh M. Natsir sehingga mampu menjadi sebuah pedoman bagi para da’i yang mampu bertahan dan beradaptasi pada masa modern ini? Untuk mendapatkan jawaban tersebut dirumuskan dalam item pertanyaan sebagai berikut
1. Bagaimana konsep dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir?
2. Bagaimana isi dan sasaran dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir?

E. TUJUAN DAN MANFAAT HASIL PENELITIAN
Berdasarkan lingkup masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dijabarkan dalam uraian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir.
2. Untuk mengetahui dan memahami isi dan sasaran dakwah Islam dalam persepektif komunikasi dakwah M. Natsir.

Dan adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Secara Akdemis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan tentang dakwah bagi khazanah keilmuan islam. Serta dapat memberikan referensi bagi peminat dakwah.

2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi kalangan teoritis, praktisi dan aktivis dakwah yang konsen dalam lapangan dakwahnya.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Model Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau “ common” dalam bahasa ingris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita sedang berusaha untuk mencapai kesamaan makna. Atau dengan ungkapan yang lain melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan, atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama dalam berkomunikasi adalah kita sering mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama. Oleh karena itu, komunikasi dipertimbangkan sebagai aktifitas dimana tidak ada tindakan atau ungkapan yang diberi makna secara penuh, kecuali jika diidentifikasikan oleh partisipan komunikasi yang terlibat.

Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss menjelaskan 3 model komunikasi :
Pertama, model komunikasi linier, yaitu model komunikasi satu arah. Dimana komunikator memberikan suatu stimulus dan komunikan memberikan respons atau tanggapan yang diharapkan, tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Seperti teori jarum hipodermik, asumsi-asumsi teori ini yaitu ketika seseorang mempersuasi orang lain maka ia “menyuntikan satu ampul” persuasi kepada orang lain itu, sehingga orang lain tersebut melakukan apa yang ia kehendaki.

Kedua, model komunikasi dua arah adalah model komunikasi interaksional, merupakan kelanjutan dari pendekatan linier. Pada model ini terjadi komunikasi umpan balik gagasan. Ada pengirim yang mengirimkan informasi dan ada penerima yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan respons balik terhadap pesan dari pengirim. Dengan demikian komunikasi berlangsung dalam proses dua arah, sedangkan setiap partisipan memiliki peran ganda, dimana pada satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain berlaku sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya.

Ketiga, model komunikasi transaksional, yaitu komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan diantara dua orang atau lebih. Proses komunikasi ini menekankan semua perilaku adalah komunikatif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi memiliki konten pesan yang dibawanya saling bertukar dalam transaksi.

B. Proses Komunikasi
Menurut sandjaja dalam tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua persepektif yaitu kognitif dan perilaku. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili persepektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang suatu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.

Sementara Skinner dari persepektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolis dimana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver. Masih dalam persepektif perilaku, Dance menegaskan bahwa komunikasi ada karena adanya satu respons melalui lambang-lamabang verbal dimana symbol verbal tersebut bertindak sebagai stimulus untuk memperoleh respons.

Dalam kehidupan sehari-hari, proses komunikasi diawali oleh sumber baik individu ataupun kelompok yang berusaha berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain.
Langkah pertama yang dilakukan sumber adalah ideation, yaitu penciptaan satu gagasan atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation ini merupakan landasan bagi suatu pesan yang akan disampaikan. Langkah kedua dalam penciptaan satu pesan adalah encoding, yaitu sumber menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata, tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan atau message adalah alat-alat dimana sumber mengekspresikan gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, tertulis ataupun perilaku nonverbal, seperti bahasa isyarat, ekspresi wajah, atau gambar-gambar. Langkah ketiga dalam proses komunikasi adalah penyampain pesan yang telah disandi (encode). Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara berbicara, menulis, menggambar, ataupun melalui suatu tindakan tertentu. Pada langkah ketiga ini, kita mengenal istilah channel atau saluran, yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. Saluran untuk komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka, radio dan telepon. Sedangkan saluran untuk komunikasi tertulis meliputi setiap materi tertulis ataupun sebuah media yang dapat memproduksi kata-kata tertulis seperti : televise, LCD atau kaset video. Langka keempat, perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan, maka penerima perlu menjadi seorang pendengar yang baik, karena jika penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang. Dalam proses ini, penerima melakukan decoding yaitu memberikan penafsiran interpretasi terhadap pesan yang disampaikan kepadanya. Pemahaman merupakan kunci untuk melakukan decoding dan hanya terjadi dalam fikiran penerima. Akhirnya hanya penerima lah yang akan menentukan bagaimana memahami suatu pesan dan bagaimana pula memberikan respons terhadap pesan tersebut. Tahap terakhir dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah disampaikannya kepada penerima. Respons dari penerima terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata ataupun menyimpannya. Umpan balik inilah yang dapat dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektifitas komunikasi.

C. Dakwah M. Natsir
Penyampaian dakwah itu menurut M. Natsir, tidak harus menghukumi dengan label haram, kafir, munafik dan sebagainya, tetapi dengan perkataan simpatik yang menawarkan atau menyejukkan hati masyarakat dengan memberi mereka pilihan-pilihan yang lebih baik. Hal tersebut akan lebih relevan dengan arti kata dakwah yang mengandung arti konotasi memanggil atau mengundang, karena posisi subjek dakwah adalah tamu yang harus dihormati oleh da’i sebagai pelaku atau sebagai tuan rumahnya. Oleh karena itu, dakwah islam yang sifatnya penyampaian itu menyudutkan atau mengkafirkan para objek dakwah sebagai tamu adalah sikap yang tidak etis, tidak perlu dimasyarakatkan. Ini karena sikap yang demikian ini boleh jadi akan menimbulkan antipati objek dakwah terhadap pelaku dakwah sekaligus materi dakwah yang disampaikannya. Dengan demikian, maka akhlakul karimah dalam menyampaikan dakwah adalah hal yang sangat penting artinya bagi seorang da’i.
Bagi M. Natsir, etika berdakwah merupakan suatu yang sangat penting untuk mendukung proeses pencapaian tujuan dakwah islam. Karenanya, akhlakul karimah dalam dakwah bagi M. Natsir merupakan masalah penting yang tidak boleh dilupakan oleh para pelaku dakwah.

Dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar yang bertumpu pada rasa cinta dan persaudaraan itu , mengandung beberapa konsekuensi logis dalam penerapannya. Sikap itu antara lain :
1. Ajakan dakwah kepada umat hendaknya bersih dari rasa benci dan permusuhan
2. Tutur kata maupun ucapan para pelaku dakwah harus bersendikan akhlak karimah
3. Menjauhi sifat suka menuding dan saling mengkafirkan, apalagi terkesan membuka aib sesame manusia.
4. Menciptakan kondisi yang bersahabat dan akrab dengan para objek dakwah.

Dan adapun tujuan dakwah menurut M. Natsir adalah :
1. Memanggil kita kepada syari’at, untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perseorangan ataupun berumah tangga, berbangsa-bersuku bangsa, berjamaah –bermasyarakat, bernegara, berantarnegara.
2. Memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah diatas dunia yang terbentang luas ini, yaitu fungsi sebagai pelopor dan pengawas umat manusia.
3. Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah Allah.

Demikianlah, kita mempunyai fungsi tujuan yang tertentu.
Dari tulisan M. Natsir, ternyata isi dakwah yang telah dikemukakan olehnya hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini mencakup aspek hubungan manusia dengan Tuhan, maupun hubungan manusia dengan sesamanya.

Persoalan-persoalan dakwah dan saasaran dari isi-isi dakwah yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Para politisi yang memilki kekuasaan politik, termasuk lembaga-lembaga politiknya
2. Para ekonom, pengusaha dan para konsumennya
3. Para pendidik, peserta didik dan kelompok intelektual lainnya yang mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan
4. Para penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan sebagai pelaksana roda pemerintahan.
5. Para kaum sekuler dengan berbagai paham sekulerismenya
6. Para alim ulama dan tokoh-tokoh agama lain, termasuk didalamnya masyarakat sebagai pengikut agama masing-masing.

M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan isi-isi dakwah dan sasarannya. Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, beliau terkesan mempunyai memiliki kemampuan intelektual secara utuh pesan dakwah yang disampaikan, baik dari segi dimensi spiritual maupun social. Dalam dimensi spiritual, beliau banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan berbagai tulisannya dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan dalam dimensi social, beliau tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan social, termasuk politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Pada sisi lain, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa islam itu meliputi ajaran spiritual dan social. Disamping mengamalkan ajaran agama, umat islam juga harus mengerti politik, mapan dalam ekonomi, berpendidikan dan memiliki kepekaan social terhadap setiap masalah yang terjadi dilingkungannya. Ini semua merupakan hal yang sangat baik bagi kehidupan manusia pada umumnya dan umat islam pada khsusnya.


BAB III
PROSEDUR PENELITIAN

A. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode historis dan deskriptif. Metode historis artinya berhubungan dengan sejarah. Sejarah adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Dalam hal ini mempelajari konsep komunikasi dakwah M. Natsir dengan pendekatan historis. Adapun yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah dengan memaparkan situasi atau gambaran tentang konsep komunikasi dakwah M. Natsir sehingga dapat dijadikan sebagai kerangka teoritis dalam menjelaskannya.

2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini dengan menggunakan Library Research yaitu dengan mengumpulkan data-data dari tinjauan kepustakaan berupa buku-buku yang berkaitan dengan kepentingan yang menunjang penelitian ini.

3. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan pendekatan kualitatif, dimana penelitian kualitatif ini menekankan bahwa setiap temuan (sementara) dilandaskan pada data, sehingga temuan itu semakin tershahihkan sebelum dinobatkan sebagai teori.


DAFTAR PUSTAKA

 Luth, Tohir, M.Natsir Dakwah dan Pemikirannya, Gema Insani, Jakarta, 2005.
 Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007.
 Bungin, Burhan, Sosiologi komunikasi, Kencana, Jakarta, 2006.

0 comments:

Posting Komentar